Kamis, 26 Maret 2020

Wabah Demam Babi Afrika Mengintai Hewan Ternak

Baru-baru ini mewabah di dunia beberapa penyakit yang bersumber dari hewan seperti African Swine Fever (ASF). Walaupun penyakit ASF tidak menular ke manusia namun sampai saat ini belum ada vaksin ataupun obat khusus, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi. Penyakit ini bisa menyebabkan kematian ternak sampai 100 persen. ASF sudah dideklarasikan masuk ke Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 pada 12 Desember 2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever) pada beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
Pola hidup yang tidak ramah lingkungan akan mempercepat terjadinya wabah zoonosis di daerah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wabah zoonosis dapat berpotensi menyebar dan meluas antarnegara dan antarkawasan regional yang disebut pandemi. Apabila pandemik zoonosis terjadi, maka berbagai kelumpuhan pelayanan publik akan merugikan masyarakat dan dunia usaha. Kunci keberhasilan untuk mereduksi dampak wabah zoonosis adalah upaya pencegahan dan pengendalian secara lintas sektor yang terkoordinasi, serta komitmen semua pihak.
Kementerian Pertanian mengatakan hampir 30.000 babi mati karena penyakit itu di Sumatra Utara. Virus ini diperkirakan akan memusnahkan lebih dari separuh babi ternak tahun ini. Sekalipun tidak berbahaya bagi manusia, penyakit ini bisa membunuh babi dalam beberapa hari, dan kemungkinan kematian mencapai 100% menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).
Virus ini termasuk kuat, dan bisa hidup selama tujuh hari tanpa inang, dan bertahan berbulan-bulan dalam produk babi yang dibekukan. Sekalipun tidak berbahaya bagi manusia, penyakit ini bisa membunuh babi dalam beberapa hari, dan kemungkinan kematian mencapai 100% menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).
Virus ini termasuk kuat, dan bisa hidup selama tujuh hari tanpa inang, dan bertahan berbulan-bulan dalam produk babi yang dibekukan. China merupakan yang terbesar saat ini, tetapi penyebaran sedang terjadi di Asia Tenggara, dan yang terburuk di kawasan ini adalah Vietnam dan Filipina.
Pengamat dari Rabobank memperkirakan produksi daging bagi Vietnam akan turun 21% tahun ini, bertambah 8% tahun depan. Penurunan di Filipina bisa mencapai 13% pada tahun 2020. Rabobank juga mencatat penurunan di China hingga 55% tahun ini. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan kepada wartawan bahwa virus itu berhasil dibatasi di Sumatra Utara.
Penyakit ini juga terdeteksi di Mongolia, Kamboja, Korea Selatan, Korea Utara, Myanmar dan Timor Leste menurut Badan Pangan PBB FAO. Di luar Asia, demam babi ini ditemukan di sebagian Eropa Timur dan Afrika sub-Sahara. Kementerian Pertanian (Kementan) telah resmi melaporkan wabah demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) sudah masuk ke Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Deklarasi itu tertulis dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tentang pernyataan wabah demam babi Afrika pada beberapa kabupaten/kota di Sumut.
Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia mengatakan puluhan ribu babi yang mati tersebut paling dominan disebabkan oleh ASF. Demam babi Afrika membuat lebih dari 30.000 ekor babi mati sejak September 2019 di 16 kabupaten/kota di antaranya Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Serdang Bedagai dan Medan.
Sebelumnya, Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi mengaku belum menerima salinan soal surat keputusan Menteri Pertanian tentang pernyataan wabah demam babi Afrika pada beberapa kabupaten/kota di Sumut. Edy saat ini masih mempelajari penetapan wabah ASF di Sumut. Namun, mantan ketua PSSI ini menyebut konsekuensi atas surat keputusan tentang wabah demam babi Afrika pada beberapa daerah di Sumut adalah dengan memusnahkan seluruh babi. Menurutnya, apabila babi-babi yang ada di Sumut akan dimusnahkan, rakyat yang memelihara hewan ternak tersebut tidak boleh dirugikan. Ganti rugi harus diberikan terhadap masyarakat apabila babi-babi milik mereka dimusnahkan. Tercatat ada 1.229.000 ekor babi di Sumut.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Rumah Makan Babi Panggang Karo Kota Medan, Darna Tarigan mengatakan virus ASF yang mewabah di Sumut juga mempengaruhi ekonomi para pelaku usaha daging babi. Kata Darna, banyak pengusaha rumah makan babi yang mengeluh lantaran penurunan omzet akibat wabah ASF.
Kementerian Pertanian dalam pernyataan resmi yang diunggah di laman resminya mengatakan ASF adalah penyakit pada babi yang sangat menular dan dapat menyebabkan kematian pada hewan ternak tersebut hingga 100 persen sehingga bisa mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Virus ASF sangat tahan hidup di lingkungan serta relatif lebih tahan terhadap disinfektan. ASF tidak berbahaya bagi manusia dan bukan masalah kesehatan masyarakat. ASF bukan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis), jadi produk babi dipastikan tetap aman untuk konsumsi.
Untuk babi yang terkena penyakit ASF, isolasi hewan sakit dan peralatan serta dilakukan pengosongan kandang selama dua bulan. Terhadap babi yang mati karena penyakit ASF dimasukkan ke dalam kantong dan harus segera dikubur untuk mencegah penularan yang lebih luas. Penyakit ini merupakan ancaman bagi populasi babi di Indonesia yang mencapai kurang lebih 8,5 juta ekor.
Virus demam babi afrika atau african swine fever yang membuat kematian hewan ternak babi secara massal membuat peternak di Bali dan Sumut menjerit. Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali, I Ketut Hari Suyasa mengusulkan, pemerintah di kabupaten dan kota mengambil alih penjualan produksi atau dengan kata lain memborong babi. Empat kabupaten yang dimaksud adalah Badung, Tabanan, Gianyar, dan Denpasar. Data terkini, kematian massal Babi juga terjadi di kawasan Buleleng.
Sebanyak 21ekor babi di Dusun Dauh Munduk dan Dusun Punduh Lo, Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan dilaporkan mati hingga Selasa 11 Januari.  Pemilik babi, Nyoman Aria Suta mengatakan, kematian berawal dari satu ekor babi yang kemudian menular ke babi lainnya. Meski sempat disuntik, 21 babinya tetap tak tertolong. Jika data kematian itu dijumlahkan, kasus kematian babi di Bali telah mencapai seribu lebih sejak sebulan terakhir diduga wabah African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika. Harga Babi di Bali khususnya di empat kabupaten terdampak virus itu diketahui belum beranjak naik setelah kematian babi secara massal. Kisarannya masih di bawah harga pokok industri Rp25.000 per kilogram.
African Swine Fever (ASF) atau demam Babi Afrika merupakan virus yang tidak berbahaya bagi manusia, tetapi mematikan untuk babi. Sejauh ini, belum ada vaksin yang dapat mencegah penularan virus tersebut. Untuk kasus Asia, situs Antara menyebutkan, virus African swine fever pertama kali menjangkit China lebih dari satu tahun yang lalu. Wabah kemudian meluas ke Kamboja, Vietnam, dan kini menyebar hingga ke Timor Leste. Timor Leste merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, khususnya Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dua negara itu berbagi wilayah di Pulau Timor yang terletak di sebelah utara Australia. Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) memperketat pemeriksaan barang, khususnya untuk produk pertanian demi upaya mencegah penyebaran virus African swine fever atau demam babi Afrika. China, produsen daging babi terbesar dunia, jadi salah satu negara yang cukup parah terdampak wabah. Virus itu tidak hanya mengganggu produksi babi di China, tetapi juga komoditas lain yang menjadi pakan babi seperti jagung dan bungkil kedelai (soymeal).
Menurut The Guardian, ASF adalah penyakit virus babi yang sangat menular, gejala paling umum dari virus ini dalam bentuk akut adalah suhu tinggi dan kehilangan nafsu makan pada babi. Gejala lain termasuk muntah, diare, dan kesulitan bernafas dan berdiri. Tidak ada pengobatan untuk penyakit ini, bahkan berisiko memiliki tingkat kematian 100 persen dalam keadaan tertentu, tetapi tidak sama dengan flu babi.
ASF dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi. Babi hutan telah diidentifikasi sebagai salah satu dari beberapa kemungkinan penyebab penyebarannya, serta dapat menyebar melalui serangga seperti kutu. Namun, virus ini juga dapat bertahan hidup beberapa bulan dalam daging olahan, dan beberapa tahun dalam daging babi beku, sehingga produk daging menjadi perhatian khusus untuk penularan lintas batas. Penyakit ini awalnya dibawa dari Afrika timur ke Georgia oleh produk babi yang terkontaminasi. Pihak bandara Jepang bahkan pernah menyita sebungkus sosis dari seorang pelancong yang datang dari China karena menemukan sosisnya mengandung virus African swine fever.
Di sebagian besar negara, virus ASF akan memicu tindakan karantina dan pemusnahan kawanan babi yang terkena dampak. Namun, ada kekhawatiran di antara para ahli bahwa dalam beberapa kasus petani di seluruh negara - dapat menutupi atau menunda melaporkan penyakit tersebut. Seperti Negara Belarus yang dituduh menutupi ASF pada babi. Pemerintah Belarus membantah klaim tersebut. Salah satu Dokter Sanitasi di Rusia, Gennady Onishchenko memperingatkan jika fisiologi babi dekat dengan fisiologi manusia, dan karenanya mutasi virus itu juga berbahaya bagi manusia.
Pada tahun 2007, virus tersebut juga terdeteksi di Georgia, dan sejak itu telah menyebar secara luas, mulai Eropa timur hingga Rusia, dan baru-baru ini terdeteksi di Eropa barat, ketika ada babi hutan ditemukan memiliki penyakit itu di Belgia. Virus ini sekarang telah sampai ke China, rumah bagi setengah babi domestik dunia, dan berkembang biak dengan cepat. Sementara Amerika Serikat (AS), di mana pasar ekspor babi yang mencapai 6,5 miliar dolar AS per tahun sedang meningkatkan langkah-langkah keamanan hayati demi menceggah penularan virus ASF. Sedangkan negara Denmark telah merencanakan untuk membangun tembok demi mencegah babi hutan untuk beberapa waktu, dan Perancis sekarang juga membuat rencana untuk menembok sepanjang bagian perbatasan Belgia. Serta Jerman telah melonggarkan undang-undang tentang perburuan babi hutan sebagai bagian dari pencegahan penyebaran penyakit. The Roslin Institute sedang melakukan pengeditan gen untuk membuat babi kebal terhadap ASF. Sebuah koalisi ilmuwan internasional juga sedang menyelidiki vaksin untuk mencegah penyebaran penyakitnya.

Referensi
 http://www.tirto.id
 http://www.sindonews.com
 http://www.bbc.com
 http://www.voaindonesia.com
 http://www.cnnindonesia.com

1 komentar: